Sekadau merupakan nama kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang beribu kota di Sekadau Hilir. Luas wilayahnya mencapai 6.263,07 kilometer persegi dan terbagi menjadi tujuh kecamatan.
Kecamatan Nanga Mahap merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Sekadau dengan luas mencapai 1.205,16 kilometer persegi. Sementara itu, kecamatan terkecil berada di Belitang dengan luas 336,79 kilometer persegi.
Jumlah penduduk Sekadau pada 2020 mencapai 201.458 jiwa. Komposisinya terdiri dari laki-laki 103.376 jiwa dan perempuan 98.082 jiwa.
Secara administratif, Kabupaten Sekadau berbatasan dengan Kabupaten Sintang di sebelah utara, Kabupaten Ketapang di sebelah selatan, Kabupaten Sintang di sebelah timur, Kabupaten Sanggau di sebelah barat. Sekadau merupakan wilayah pertemuan dua sungai besar, yakni Sungai Sekadau dan Sungai Kapuas.
1. Cikal-bakal Sekadau
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, nama Sekadau diambil dari nama pohon Batang Adau, sejenis pohon kayu yang banyak tumbuh di muara sungai (sekarang bernama Sungai Sekadau). Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sekadau muncul dari kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu, masyarakat sering berseru 'Baru Adau’ yang berarti baru melihat, ketika mereka melihat sesuatu yang tidak biasa atau asing.
Cikal bakal Kabupaten Sekadau adalah sebuah kerajaan yang berasal dari pecahan rombongan kerabat keluarga Dara Nante yang juga menjadi cikal bakal beridirnya Kabupaten Sanggau. Rombongan yang dipimpin Singa Patuh Bardat dan Patih Bangi itu berjalan menyusuri Sungai Sekadau yang merupakan anak Sungai Kapuas. Rombongan ini terus berkembang hingga melahirkan Suku Kematu, Suku Benawa, Senganan (Suku Dayak yang memeluk Islam), Mualang, dan keturunan Dayak Mualang yang menjadi raja-raja Sekadau.
Kerajaan Sekadau awalnya terletak di daerah Kematu, sekitar tiga kilometer di Hilir Rawak, ibu kota kecamatan Sekadau Hulu. Raja pertama Sekadau adalah Pangeran Engkong yang memiliki tiga putra yakni, Pangeran Agong, Pangeran Kadar, dan Pangeran Senarong.
Sesudah Pangeran Engkong wafat, tahta kerajaan diduduki putra keduanya, Pangeran Kadar, karena dinilai lebih bijaksana dari dua putra lainnya. Karena kecewa, Pangeran Agong meninggalkan Sekadau menuju Daerah Lawang Kuari, yang masuk dalam kawasan asministratif Desa Seberang Kapuas, Kecamatan Sekadau Hilir. Sedangkan, Pangeran Senarong menurunkan penguasa Kerajaan Belitang.
Setelah Pangeran Kadar wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putra mahkota Pangeran Suma. Pangeran Suma pernah dikirim orangtuanya utnuk memperdalam pengetahuan agama Islam ke Kerajaan Mempawah. Ibu kota kerajaan pun dipindahkan ke kampung Sungai Bara dan sebuah masjid kerajaan didirikan di sana. Di daerah ini terdapat banyak makam raja-raja yang kemudian dipindahkan ke Sekadau, tepatnya di kampung Sungai Barak.
2. Situs Batu Pait
Situs yang dikenal pula dengan nama Batu Bertulis ini terletak di Desa Sebabas, Kecamatan Nanga Mahap. Lokasi batu ini berada di hutan lindung yang berarti pemandangan sekitar situs ini masih asri dan sejuk.Batu ini merupakan batu andesit dengan tinggi sisi kiri batu mencapai dua meter dan sisi kanan 3,90 meter, panjang batu 5,10 meter, dan lebar mencapai 1,2 meter. Pada batu ini terdapat pahatan dan ukiran yang menggunakan huruf pallawa, berusia lebih dari 700 tahun. Batu ini merupakan peninggalan kerajaan Hindu di kalimantan.
3. Makam Bukong
Makam Bukong berada di Desa Sebabas, Kecamatan Nanga Mahap. Makam itu merupakan peristirahatan terakhir seorang Tumenggung Kerajaan Sekadau, yaitu Tumenggung Panglima Ayub. Pada nisan makam tertera tahun 1617.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, Panglima Ayub berperang melawan Kerajaan Sintang dalam memperebutkan wilayah Sepauk. Dia membawa tujuh kepala pasukan pasukan perang kerajaan ketika berperang dan mereka turut dimakamkan di sebelah Panglima Ayub.
4. Air Terjun Sirin Punti
Air Terjun Sirin Punti berada di Desa Meragun, Kecamatan Nanga Taman. Jarak tempuh dari ibu kota kabupaten ke air terjun ini kurang lebih 50 kilometer. Air terjun ini berada pada ketinggian seratus mdpl dengan kontur air terjun yang landai dan berbatu serta memiliki debit air yang sangat besar.
Di bawah air terjun dialiri sungai yang begitu jernih, sehingga menambah keasrian air terjun. Selain sebagai objek wisata, Air Terjun Sirin Punti dimanfaatkan pula untuk menunjang pasokan listrik sebagai sumber daya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Karena infrastruktur jalan yang belum memadai, pengunjung hanya bisa menggunakan kendaraan roda dua untuk mencapai lokasi.
5. Tenun Ikat Kumpang Ilong
Tenun Ikat Kumpang Ilong merupakan tenun ikat khas Kabupaten Sekadau yang sudah berusia kurang lebih 170 tahun. Pusat perajin tenun ikat berada di Desa Kumpang Ilong, Kecamatan Belitang Hulu. Tenun ikat ini digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, terkadang digunakan pula ketika upacara adat, seperti upacara adat pernikahan.
Motif yang digunakan dalam tenun ikat pun beragam, seperti motif pelintang kiarak (dahan pohon kayu ara), motif daun wi (daun rotan), motif engkrebang puang , dan motif lingkok petara (lengkungan daun pakis). Dahulu, bahan benang diambil dari serat daun buah nanas atau disebut pula buah pisang kurang dalam Bahasa Mualang.
Pewarnanya juga alami, seperti menggunakan batang buah mengkudu. Teknik pembuatannya berkembang seiring waktu. Jika dulu msetiap motif kain selalu dibungkus dan diikat dengan daun lembak untuk membedakan setiap motif agar tidak terampur dengan warna dasar kain, sekarang pengikatan kain hanya menggunakan tali rafia.
6. Tari Pinggan
Bila Minangkabau memiliki tari piring, Sekadau memiliki tari pinggan. Dalam Bahasa Dayak Mualang, Pinggan dapat diartikan sebagai piring yang terbuat dari batu atau tanah liat. Ini biasa dipertunjukkan sebagai hiburan rakyat.
Gerakan tarian ini mengadopsi gerakan silat tradisional. Awal mulanya, tari ini berasal dari kebudayaan leluhur yang berkaitan dengan ritual melegitimasi kelulusan beladiri tradisional suku Dayak Mualang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar